Melawan Keterbatasan Bersama Keterbatasan
by Manusia Robot
Kesendirian sudah sering menyelimuti hati. Entah pagi, siang ataupun malam. Dari mulai aku terbangun dari mimpi hingga tertidur lagi bertemu mimpi. Timbul pikiran terkadang hari ini terasa membosankan, hingga aku terlelap nanti. Kejadian ini sering kualami semenjak hari kepergian adikku. Perasaan yang terkesan abstrak. Mimpi pun terasa tak jelas, hanya terdapat bayangan adikku yang terus lari tanpa arah. Semua ini membuatku bingung, entah cerita hidupku mau dibawa kemana. Keseringanku melakukan pengobatan di psikolog serta terapi CBT terasa tak membuahkan hasil. Ketika bayangan abstrak itu menghampiri hanya terdapat pil kapsul kecil yang dapat sekejap mengobati. Sering ku bertanya pada diri sendiri. “Tuhan apa yang terjadi dengan diriku ini? Apa aku sudah mulai gila?..”
Hari-hari yang aku jalani sekarang entah kuliah ataupun ada kegiatan lainnya, semua terasa begitu membosankan. Dari memulai berangkat kuliah hingga pulang ke rumah, tak ada yang istimewa ataupun secarik kebahagiaan di dalamnya. Hanya perasaan bosan, bingung, linglung, semua bercampur aduk. “Pagi Rere? Halo Rere? Byee..Rere”, perakataan ini sering ku dengar, tapi hanya lari begitu saja. Hingga pada saatnya cerita ini bermulai kembali.
Ku berjalan dengan sendirinya lagi, tapi kali ini entah mengapa badanku terasa sangat dingin, bahkan keringat ini terus bercucuran, terasa seperti nge-fly. Keadaan seperti orang mabuk alkohol. Tetapi, ku pikir hari ini aku tak minum obat ataupun minuman keras. Perasaan bingung mulai lagi. Tiba-tiba semua bayangan terlihat berkunang-kunang. Kepalaku terasa sangat sakit, perih seperti banyak jarum yang menancap. “Ada apa ini? Ada apa ini? Tolong Tuhan! Apa Kau akan menyabut nyawaku sekarang?..” Cttttccttzzzzzzz... tin tinn tin. Aku masih mendengar rem serta bel mobil itu. Hingga lapppp pada akhirnya. Semua terasa gelap.
“Mbak.. mbak kamu nggak kenapa-napa kan? Heyy?? Mbak!”, teriakan wanita yang masih kudengar. Tetapi lagi-lagi kelopak mata ini masih sulit untuk membuka. Bahkan badan terasa kaku. “Ibu, dibawa aja dia ke rumah sakit. Mungkin ada penyakitnya yang kambuh”. Badanku yang kaku ini langsung dibopong oleh tangan laki-laki yang kekar. “Terimakasih mas..” sahut ibu itu ketika badanku yang mungil ini sudah dimasukkan ke dalam mobil. Bau khas rumah sakit sudah tercium di hidung pesekku ini. Pemasangan oksigen oleh tangan dokter telah ku rasakan. Mata ini pun sedikit demi sedikit mulai membuka walaupun bayangan blur dan buram. Badanku yang kaku kini terasa lemas, dan tanganku mulai dapat digerakkan. “Mbak kamu udah sadar? Maaf tadi saya nggak tahu kalau kamu terjatuh di jalan. Tapi untungnya saya nggak menabrak anda..” ibu itu terus bicara tapi terdengar di telingaku masih samar-samar tak jelas. Aku hanya bisa menjawab “Iya bu..” dengan lirih. Hingga pada akhirnya ku tersadar. “Mbak nanti saya antar ke rumah anda ya? Kartu identitas anda dimana?.” Aku masih merasa bingung bahkan lupa sekejap dengan alamat tinggalku. Kartu identitaspun entah terjatuh di mana tiba-tiba tidak ada. “haloo mbak.. mbak tidak lupa alamat rumah, kan?”. Terdiam hanya itu yang ku lakukan.
Dokter memberi penjelasan, “sebenarnya juga tidak terjadi benturan atau pembekuan darah di otak. Kenapa dia bisa terlihat bingung dan sampai lupa siapa dia serta tempat tinggalnya yang bu? Apa kita membutuhkan psikolog?”. Ibu itupun mulai bingung. “entah dok, dia pun masih terlihat lemas.” Sekarang keputusan ibu tersebut adalah membawaku ke rumahnya. Entah itu klinik atau rumah tetapi rasa bau ruangannya masih seperti rumah sakit. “Ibu membawa siapa itu?”, tanya seorang bapak berparas tampan. “ceritanya panjang suamiku,” jawab ibu itu. Oh.. baru sadar aku kalau dia adalah suaminya. Aku dibawanya ke kamar tapi terlihat seperti ruang klinik. “istirahatlah di situ nak.. nanti kalau kamu sudah pulih dan sadar di mana tempat tinggalmu, ibu akan mengantarmu pulang..”
Kini aku benar-benar sadar kalau ini adalah ruang klinik terapis. Jiwaku terasa tak ingin pulang ke rumah lebih dahulu, karena aku tak ingin tambah bingung seperti yang terjadi tadi. Di sini aku mulai menghirup udara yang lebih segar, daripada petak rumahku yang kecil. Mataku mulai mengarah ke rak buku itu. Sambil ku bersantai melihat buku-buku itu dan kuambil salah satunya yang membuatku tertarik. Judul buku itu adalah “Taklukan Hati Mereka dan Buat Harapan Mereka Terwujud”. Rasa penasaran dari cover buku berhubungan dengan disabilitas inilah yang buatku ingin membaca. “Lagi asik membaca ya?”, tanya ibu itu dengan akrab. Ternyata buku ini ditulis oleh seorang anak tuna rungu, dari cerita awal hingga akhir ibu ini menceritakannya. Baru tersadarku bila ternyata buku ini ditulis oleh adikku sendiri. Kemana saja aku ini, kisah adikku sendiri pun tak mengerti, tahu-tahu dia sudah meninggal dalam keterpurukan, hingga karmanya menimpaku. Aku yang sering menjadi bingung, gelisah, linglung, semuanya bercampur aduk. Banyak kisah yang sudah diceritakan ibu itu kepadaku, yaitu soal adikku. Karena ternyata dia dulu adalah klien terapi ibu tersebut.
Tak terasa ibu itu sudah bercerita ber jam-jam, dan sama sekali tak membuatku bosan ataupun bingung. Menikmati ceritanya, bahkan ku mulai berpikir. Apa yang harus kulakukan demi mengganti belas kasihku selama ini yang hilang begitu saja kepada adikku. Sehingga rasa karma ini bisa hilang. “Yupiter sini nak!”, dipanggilnya seorang anak laki bertubuh besar, tapi nampak jika ia bukan anak yang normal. Dari segi muka dia sudah terlihat dewasa dan mungkin seumuranku, tapi gestur tingkah lakunya sangat jauh dari anak normal seusianya. Dulu ketika ibu Eliana mengandung, dikabarkan akan mendapat anak 3 kembar. Tetapi karena dulunya ia bekerja di pabrik yang berbau bahan kimia hingga membuat kandungannya bermasalah. Satu dari tiga anaknya mengalami gangguan IUGR atau biasa dalam dunia medis disebut “bayi kecil dalam rahim” hingga mengakibatkan si janin meninggal dalam kandungan. Serta anaknya yang kedua lahir dengan selamat, tapi mengalami gangguan yang disebut autis dia diberi nama Yupiter. Sedangkan anak normalnya diberi nama Mars.
sumber : http://bisamandiri.com/wp-content/uploads/2014/11/03/pendidikan-anak-autis.jpg
Penamaan yang asing terdengar itu dikarenakan ibu Eliana menginginkan ketika anaknya lahir akan diberi nama-nama planet. Tentunya setiap nama tersebut mengandung arti. Nama Mars mempunyai makna, bahwa Mars harus bisa menjadi anak yang cerdas dan berkilau dengan penerangan aura merah seperti julukan planet Mars yaitu planet merah. Sedangkan Yupiter, adik Mars ibarat planet, ia adalah planet yang terbesar dari susunan tata surya serta memiliki julukan “Raja Langit”. Ibu Eliana menggunakan nama itu bertujuan agar Yupiter bisa menjadi pemimpin yang baik. Semua itu sudah tercapai, kecuali Yupiter sendiri. Pencapaian makna nama yang tersendat dikarenakan kelainan pada diri Yupiter. Sungguh malang takdir itu, tapi mungkin di balik semua itu pasti ada hikmahnya. Di balik keterbelakangan mental Yupiter dia tetap mempunyai kelebihan. Ia (Yupiter) sangat menyukai dunia politik. Walaupun masih sebagai pengamat politik.
Ku tertidur dengan nyenyak di rumah itu. Tak ada perasaan yang sering kualami saat masih berada di rumahku sendiri. Gangguan OCD (Obsessive Compulsive Disorder) yang dikatakan dokter kini terasa tidak kambuh lagi. Berpikir mungkin tempat ini bisa menjadi terapi kejiwaanku. Dan ku mulai meminta izin ibu Eliana untuk dapat tinggal sejenak di klinik ini. Mungkin, aku juga bisa membantunya menyelesaikan pekerjaan. Tanpa berkata apa-apa ibu Eliana meng-iya-kan. Entah mengapa, aku juga penasaran. Hari-hariku kini, membolos dari kuliah, membantu ibu Eliana di klinik, dan suka mengamati Yupiter (putra ibu Eliana). “Mama, Mars datang..”, sapa dari balik pintu kamar klinik. Bocah tampan ini baru ku lihat setelah 2 hari di klinik. Ternyata dia yang dinamakan Mars (kakak Yupiter). Sebenarnya Yupiter juga sekolah, tapi ia sering pulang. Lain halnya dengan kakaknya Mars yang aktif dengan kegiatan sekolah.
Berjalan jinjit sambil memutar-mutar bola peta yang kecil, Yupiter berbicara sendiri dengan mengulang-ulang. “Mama.. mama negara ini rupiahnya mulai melemah, negara akan bangkrut, masyarakat akan semakin miskin..”, semua itu diulang-ulang, hingga mamanya yang menyetop. “Apaan sih lo, bicara doang nggak ada bukti dan tindakan! Dasar idiot! Aku malu mempunyai saudara kembar sepertimu!” sahut bocah tampan itu dengan ketus. Sangat disayangkan parasnya yang tampan, tapi sikapnya buruk. Mungkin hal ini pula yang tak bisa membuat Yupiter berkembang. Mau berkembang darimana ketika ia sering dijatuhkan mentalnya. “Huzzhh.. Mars nggak boleh bilang seperti itu..”, hanya secumil kata itu. Hisshh.. kalau aku jadi ibunya, Mars sudah ku maki-maki dia. Karena hampir setiap kali Mars bertemu Yupiter tak ada hari tanpa mengolok.
Sore dengan keringat penuh kecapekan, aku istirahat sejenak di taman yang biasa digunakan terapis. Terduduk dan merenung itu yang aku lakukan. Terdengar petikan tangan berulang-ulang. “Heyy!! Yupiter. Kamu sedang ngapain?”, dia diam tak memperdulikan perkataanku. Ku sentuh tangannya, dan kagetnya aku, ia langsung marah tak jelas. “Ganteng nggak papa nak, ini mbak Rere dia temen mama. Kenalan dong!”. Huh.. aku takut ketika melihat dia mau tantrum. Untung saja ibu Eliana langsung datang. Hal ini yang membuatku penasaran dengan dunia autis. Kini ku mulai banyak bertanya pada bu Eliana berkisar autis, akupun juga ingin diajari dia bagaimana dapat menerapi autis. Banyak buku tentang autis yang kubaca. Di hatiku hanya satu keinginan “aku ingin menyembuhkan Yupiter”.
Mu’jizat ini akhirnya turun. Selama kurang lebih satu semester aku dapat membuat keadaan Yupiter lebih baik. Bahkan aku dapat membawanya lolos ke perguruan tinggi dengan jurusan hukum. Karena yang kutahu saat mendekatinya ia selalu bicara cita-cita menjadi “Raja langit”, atau bisa disebut pemimpin negara, sehingga mungkin jurusan ini yang akan dapat membawanya menuju citanya. Lagi-lagi Mars kebiasaan menyepelekan Yupiter bahkan ia mencoba menghasutku untuk tidak mendekati Yupiter. Ia juga mencoba menarik perhatianku agar jatuh cinta kepadanya. Pikirku, setampan secerdas apapun kamu, jika rasa menghargai itu nggak ada, sama saja dengan tong kosong.
Jantungku mulai berdebar di dekat Yupiter, dia juga menyatakan hal yang sama. Kita berdua saling jatuh cinta. Hingga pada akhirnya kita berjuang bersama-sama. Kuliah yang dulu kulepas. Kini aku menekuni kuliah di jurusan terapi wicara, berharap dapat mewujudkan isi pesan dari buku yang ditulis adikku.
“Mereka punya harapan, mereka punya cita-cita, seperti halnya orang normal. Mereka tak butuh kasihan, mereka butuh kesempatan”.
Awal yang baik, bahkan gangguan OCD ini sudah sangat jarang terjadi. Mungkin hal ini yang diingini adikku.
Ketika kami saling lulus Sarjana-1, ia mulai melamarku. Perjuangan ini tak sampai di sini. Banyak hal yang harus dilalui untuk meraih cita kita berdua (Aku dan suamiku Yupiter). Hingga akhirnya dia berhasil menjadi presiden. Sambutannya menuangkan kata yang menggugah semangat.
“Saya takut dengan dunia. Sayapun takut dengan manusia di dalamnya, tapi yang saya tahu jika saya bisa bertahan di dalamnya maka saya manusia yang keren dan hebat. Duniapun akan kejam untuk mereka yang tak bisa menaklukkan, dan dunia akan lunak untuk mereka yang bisa menaklukan. Saya mempunyai prinsip itu agar saya terus bisa menjadikan diri saya untuk tak menjadi selemah-lemahnya orang. Walau dulu saya bodoh, idiot, tapi keinginan saya tetap kuat untuk menjadi Raja Langit alias pemimpin negara. Dan kini si idiot Yupiter mempunyai harapan agar bisa memimpin negara ini dengan baik dan menjadikannya lebih baik.”
Yakinlah! Semua orang takkan dibiarkan tak berdaya selamanya, karena masih ada sisi kebahagiaan lain yang bisa mereka nikmati. Thanks God!
Belum ada tanggapan untuk "CERPEN DISABILITAS"
Posting Komentar